Halaman

Cerpen


            SEMUA TENTANGMU      

            Angin menyentuh permukaan kulitku. Dingin. ''Sial! Aku lupa ngembaliin jaketnya nih anak." Umpatku kesal sambil melihat jaket yang sedang menempel di tubuhku ini. Kuedarkan pandangan sejauh mata memandang. Nah itu dia! Bisikku dalam hati. Rasa bahagia merambati hatiku.
Dari jauh terlihat rambutnya yang acak-acakan dan ulah jahilnya yang gesit, membuatnya terlihat mencolok diantara teman-temannya. Semuanya tak lepas dari mataku. Terekam dengan jelas semua tentangnya. Entah apakah karena angin tadi atau apa, memori ini memori yang susah-payah kubenamkan dalam ingatanku yang paling dalam, mendadak semuanya berputar. Buku itu ... HASH! kubentak diriku sendiri. Cukup sudah aku menyerah untuk melupakanmu, karena mungkin selama ini semuanya sia-sia.

''Woy!'' Seseorang menepuk pundakku, Yuri.
''Yuriiiii .................... !'' kataku bersemangat. ''Ngapain di sini? Pulang yuk, ham-ham pasti udah mulet minta makaaaan.'' desak Yuri sambil cengengesan. ''Cabuut...'' aku merangkul pundak Yuri.

          Yuri adalah sobatku sejak SMP. Cewek satu ini paling ogah pakai celana panjang apalagi rok. Gitu-gitu selera fashionnya tinggi lho. Hoihihi...

          Begitu sampai di rumah Yuri, Yuri menatap lekat kedua bola mataku. Aku juga menatapnya dengan tanda tanya buesaar di benakku. ''Anda tertangkap basah.'' Ujar Yuri penuh selidik bak anggota police 86. Aku melongo. ''Tertangkap basah ngapain?'' Tanyaku sambil menghempaskan tubuh ke sofa coklat muda empuk Yuri. ''Ah muke lo! Katanya mau ngelupain? Kok masih curi-curi pandang sih Fan?!'' Yuri menarik napas.
          ''Lagian dia udah nyakitin kamu, nyet! Apa yang bisa diharapin dari cowok nggak bisa njaga perasaan kamu itu.'' Yuri melepas kaus kakinya. Semuanya berputar, Rico. Satu nama itu menancap di relung hatiku. Sampai saat ini pedih rasanya. Yuri tak henti-hentinya memberondongku dengan pertanyaannya yang bagai peluru satu-persatu menyumpal otakku. ''Ri, aku tadi nggak sengaja lihat dia waktu aku nyariin kamu.'' Ucapku dengan nada yang bergetar. ''Please yah Fanny Ameline, kita sobatan udah berapa tahun sih?'' Yuri menatapku pasrah. ''A..k..ak..ku... belum bisa lupain Rico.'' Sudah tak bisa dibendung lagi, air mata ini meluncur butir demi butir di pipiku. Yuri merengkuhku dalam pelukannya. Aku makin terisak. ''Ri, aku nggak tau kenapa aku bisa kayak gini. Tiap lihat dia, tiap aku lihat buku itu, tiap aku baca buku itu...
aku dungu banget buat paham semua ini. Perasaanku ke dia. Sampai sekarang nggak berubah sedikit pun. Walaupun dia udah nyakitin aku tapi kenapa aku masih nggak bisa ikhlas ngelepasin dia dari fikiranku."
Yuri menepuk-nepuk pundakku. "Tenang Fanny, cowok itu bukan cuma Rico aja. Aku punya banyak temen cowok, ntar aku kenalin deh." ''Enggak Ri, aku cuma suka Rico." Tandasku. "Kamu cuma patah hati sesaat Fan, entar pasti kalo udah nemuin cowok kinclong dikit ajaa, langsung deh diembat." "Yurriiii.....!!!" teriakku sebal. "Hehehe.. aku nggak punya sohib yang cengeng tau." Cibir Yuri. "Iya.. Iya aku nggak cengeng lagi." Sebisa mungkin kuhapus air mata ini. Aku menatap Yuri yang tengah memberi makan ham-ham, hamster kesayangannya. Makasih Tuhan, makasih Yuriku.
Ujarku penuh syukur dalam hati.

          Hujan lebat malam ini membuatku terbangun dari tidur. Masih jam 02.00. Udara dingin menggigit tubuhku. Brrrrrrzzz.... Jam segini enaknya ngapain ya? Kata Fanny sambil menggaruk-garuk kepala. Ah makan aja deh. Fanny merebus mie kuah kaldu ayam kesukaannya. Hmmm... Fanny berdecak puas dengan mie kuah kaldu ayamnya yang telah tersaji di mangkuk berukuran besar itu.

          ''Asyiiiik ...'' Fanny mengusap-usap kedua telapak tangannya. Tiba-tiba "grrrssskk.. grrrssskk..." Fanny melirik ke kanan, ke kiri. "Nggak ada siapa-siapa." Kata Fanny mencoba menenangkan dirinya. "grrrssskk... ggrrrks..." Anjrit! Suara itu lagi! Apaan sih tuh? Batin Fanny mulai ketakutan.
Terdengar langkah kaki pelan. Semakin mendekat.. Semakin mendekaaaat... "Kak." "Arrrrghhh.....!" Sendok Fanny terlempar. "Rezaa! Kupikir setan tau, dasar monyong!" Fanny menjitak kepala Reza. "Hoahmmmmm.. Eh kupret, mana ada setan seganteng aku???" Reza mengucek matanya. Masih ngantuk. "Kamu? ganteng? Muka kayak pantatnya panci aja bangga. Makan tuh panci!!!"
Fanny melotot kearah Reza sambil menyumpit mie kuah kaldu ayamnya. "Kak, laper nih." Reza menatap kakaknya dengan wajah 'harap-harap cemas'. "Terus..?" Fanny menyeduh kuah mie-nya. "Bagi dooong..." Reza mulai merajuk. "Bikin sendiri noh, tuh kardus mie sampai nggak muat nampung mie-nya." "Ah kakak kolot woy!" Reza mengambil garpu dan mencelupkannya ke mangkuk mie Fanny. "Nggak, nggak , nggak, sana bikin ndiri." Fanny mengibas-ngibaskan tangannya mengusir Reza. "Hiiiiiiiiihhhh... awas ya kalo kamu pinjem joystick'ku!" "Tai kuciiiing.....! Ya udah deh, nih makan." Fanny mengusap mulutnya dengan tisu dan meneguk segelas susu panasnya hingga tetes terakhir.

          "Jangan lupa gosok gigi." Kata Fanny sambil berlalu. "Loh mau kemana kak?" "Ke hatimu. Ya tidur lah. Besok aku masih ulangan, lagi." "Tungguin aku makan dong kak!" Reza menyuapkan mie ke dalam mulutnya dan mengunyahnya secepat mungkin. "Hash.. ya udah buruan gih! Tapi habis ini gantian temenin aku main playstation yaa." "Bereeess..." Reza menjentikkan jarinya.

          Jam menunjukkan pukul 04.15. Aku dan Reza masih asyik berduel game tekken. Sesekali aku berteriak histeris saat aku berhasil meluluh-lantahkan pertahanan Reza. Reza memegang GunJack, dan aku memegang Jin Kazama. Tapi di detik-detik terakhir pukul 04.30, Reza membalikkan keadaan! My God.. aku kalah 5-6. Reza tersenyum puas sambil menepuk-nepuk pantatnya kearah mukaku. "Sialan!" Dengus Fanny kesal. "Yeee.. kalo kalah, ya kalah aja kak. Nggak usah sirik gitu kali! Keriputnya keliatan lho ya.." Ejek Reza. "Lu kata gua pipiyot?! Rajungan!" "Bukan aku lho ya yang bilang." Reza memutar kedua bola matanya. "Whatever.." Fanny pasrah sambil mengibaskan tangan.

          Adzan subuh telah berkumandang. Aku dan Reza saling pandang. Sadar kalau kami tidak tidur sampai jam segini. Aku menutup mulutku menahan tawa. "Rez, kayaknya kita bakalan dimarahin mama deh." Gumamku. "Kakak kan yang tanggung jawab." Ugh! Ingin rasanya kusumpal mulut Reza dengan kain gombalnya Mbok Narti. Dan kucekoki dengan air comberan! "Heh kunyuk, enak banget kamu jadiin aku tumbal. Kan kamu sendiri yang setuju nemenin aku main PS!" Semburku berapi-api. "Tapi kan kakak udah gede, ngapain ngarahin aku ke jalan sesat hayo?!" "Udah tau jalan sesat, ngapain diikutin?" "Yah aku kan masih kecil, ada di bawah tanggung jawab kakak." Kata Reza mulai terpanggang emosinya. "Sialan nih bocah! Nggak, nggak! Kita tetep harus tanggung jawab sendiri-sendiri di hadapan mama nanti!" Kata Fanny tegas.
Fanny segera berlari menuju kamar mandi, menyambar handuk di tiang jemuran dan melesat masuk ke kamar mandi. "Daaa.. duluan yee!" Teriak Fanny dari dalam kamar mandi. Reza tertegun melihat tingkah 'playgroup' kakaknya. "Kutu kupreeet..." Reza membalas Fanny dengan teriakan yang lebih keras. Hanya terdengar cekikikan Fanny dari dalam kamar mandi.

          Di meja makan sudah berkumpul papa, mama, Reza, dan aku. Menu sarapan pagi ini agak berbeda dari biasanya. Karena mama membeli makanan di luar. "Ma, ngapain beli makanan di luar? Enakan masakan mama!" Protes Reza. "Udah Reza cepet dimakan makanannya, jangan kebanyakan protes. Makanan itu nggak boleh diomelin, nanti butir nasinya nangis di akhirat." kata papa sambil menyendok nasi kuningnya. "Ah papa bisa aja." Reza acuh tak acuh menanggapi papa. Ia sedang asyik memodifikasi mobil remotnya. "Iya nak, bener kata papamu. Terus kalau lagi makan ya makan, kalau waktunya mainan, baru deh kamu ngurus mainanmu." Timpal mama.
Reza menatap kearahku meminta pembelaan. Tapi aku memasang muka 'belaga pilon' sambil pura-pura sibuk dengan nasi kuningku.
Yeah! Aku bersorak girang dalam hati. Mampus lo Rez!

          Dengan cekatan aku menyudutkan sisa makananku dengan sendok, menyendoknya dan.. haappp, Cliiing! Piringku bersih tanpa noda.
"Pa, ma, Fanny berangkat dulu ya. Assalamualaikum." Ujarku sambil menyalami tangan kedua orang tuaku bergantian. "Waalaikumsalam hati-hati di jalan Fanny..." Kata Papa dan Mama hampir berbarengan. "Dadaaah... kunyuk."
Kataku sambil mengacak-acak rambut Reza. Reza hanya cemberut.

          "Yuri.." Tok tok tok.. Panggilku sambil mengetuk pintu rumah Yuri.
Pintu rumah Yuri terbuka dan tampaklah cewek berambut pendek dengan rambut dikuncir dua berdiri didepanku. "Pagi jelek." Sapa Yuri pada Fanny. "Ayo cabut nyet, ntar kita telat!" Fanny menggandeng lengan Yuri dan menyeretnya segera. "Eh kamu apa-apaan sih main tarik begini? Ini tuh masih pagi, ngapain buru-buru Fanny?" Yuri memandang Fanny dengan heran. "Aku cuma nggak mau kalo ntar papasan ama Rico." Papar Fanny.
          Fanny dan Yuri berada di halte bus. 3 menit kemudian bus datang. Karena masih sangat pagi, Fanny dan Yuri mendapatkan tempat duduk. Mereka nggak perlu berdesak-desakan seperti biasa. Suasana di dalam bus tampak tenang. Nggak ada pengamen, pedagang asongan, preman-preman pasar, bahkan nggak ada perokok!
          Fanny yang sedari tadi senyum-senyum simpul mengundang tanya di hati Yuri. "Fan, obatmu nggak ketinggalan kan? Ntar kalo kamu pingsan, aku duduk sendirian dong. Terus kalo aku diapa-apain sama preman gimana?" Kata Yuri memasang muka khawatir. "Eh cupu, nggak usah melankolis gitu lagi!" Fanny menepuk paha Yuri dengan keras.
"Habis.. aku malu tau nggak duduk ama orang yang kerjanya senyum-senyum gak jelas, kayak habis keluar dari menur aja!" Cerocos Yuri. "Hehehe.. aku seneng banget sih suasana di bus beda, nggak kayak biasanya." "Terang aja oon, ini tuh masih pagi banget tau ga." "Tuh.. kan Ri, enak kalo berangkat pagi." "Enak sih enak, tapi lihat aja ntar di sekolah. Pasti masih sepi kayak kuburan banget kupreeet." "Seenggaknya aku nggak ketemu ama tuh anak Ri." "Sesukamu sajalah." Kata Yuri dengan raut pasrah.
Gerbang sekolah masih terbuka separuh. Aku berjalan sambil berjingkrak senang. Yuri berjalan dengan santai di belakangku. Aku bernyanyi-nyanyi girang. Suasana di sekolah tampak lenggang.
Aku dan Yuri berjalan melewati koridor. Dan saat kami hampir sampai di kelas, sayup-sayup terdengar suara alunan lagu.

Semua tentangmu
selalu membekas di hati ini
cerita cinta kita berdua akan selalu ...
Semua kenangan tak mungkin bisa
kulupakan..
kuhilangkan..
Takkan mungkin kubiarkan cinta kita berakhir
ku tak rela, ku tak ingin kau lepaskan semua
ikatan tali cinta yang t'lah kita buat s'lama ini
aku di sini s'lalu menanti
ku takkan letih menunggumuu........

          Aku terpaku, semua saraf-sarafku seolah berhenti. Kuresapi kata demi kata yang ada dalam lagu itu untuk menemukan maknanya. Lagi. Lagi-lagi perih di hatiku nggak bisa di ajak kompromi. Air mata ini mengalir begitu saja.
          Yuri menatapku panik. "Fan, kamu nggak apa-apa kan? Fanny, please jangan cengeng kayak gini."
Aku menghindari tatapan Yuri. Berlari. Ya berlari! Aku berlari menuju taman di belakang gedung sekolah. Aku ingin menumpahkan semuanya di sana. Semakin cepat aku berlari, semakin berkurang rasa pedih ini.
Aku terduduk lesu. Pandanganku kabur karena air mata ini masih memenuhi setiap ruang di kelopak mataku. Aku berusaha menghapusnya, tapi entahlah .. aku lebih senang membiarkan air mataku mengalir deras seperti ini. Rasanya semua bebanku ikut melumer. Setidaknya untuk saat ini.
          Kubuka risleting tasku sambil berharap benda itu masih ada di sana.
Huff ... aku berani bernapas lega sekarang. Benda itu harus kukembalikan sekarang juga.
Kukeluarkan foto-fotoku bersama Rico saat di photobox dari dompet. Kuletakkan foto-foto itu di atas rumput. Aku bersiap menyalakan api tapi,
Wusssshhh ....................
sepasang tangan menyambar korek apiku.
"eeh... apa-apaan nih? Balikin ga!" "Lo mau ngerokok di sini?" "Gila aja, ya nggak lah. Kamu nggak lihat apa aku mau bakar nih foto?" Fanny menunjuk foto-foto yang tercecer di atas rumput itu. "Itu pacar lo?"
Tanya cowok tadi. "Bukan, sekarang udah bukan lagi." Jawabku agak sedikit bergetar, perasaan nggak rela itu menyusup kembali. "Beneran yakin mau dibakar? Ntar lo nyesel lagi?! gua nggak mau lihat lo nangis gulung-gulung di sini. Ini tempat gua." Kata cowok itu dengan nada yang semakin meninggi. "Aku nggak mau cari gara-gara sama kamu. Aku cuma butuh ketenangan di sini. Toh aku nggak bikin kamu terganggu kan?" Kataku berusaha meyakinkan cowok ini. "Kamu sekolah sini?" Kata cowok itu memicingkan matanya untuk mengenali serangamku yang jelas-jelas sama persis dengan seragam yang Ia gunakan. "Kamu pikir seragam sekolah mana lagi yang kayak gini?" Kataku melirik seragam batik yang kukenakan. "Bukan gitu, tapi gua kok nggak pernah lihat lo sebelumnya ya?" Cowok itu menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal. "Mungkin kamu yang kebanyakan bertapa di sini kali." Kata Fanny ketus. "Hahaha.. tapi omongan lo ada benernya sih." Kata cowok itu mengangguk.
"Jadi lo bakar? Nggak usah deh, gua nggak suka bau asap pembakaran." Kata cowok itu melirik foto-foto yang akan dibakar Fanny. "Tapi aku nggak mau nginget-nginget lagi semua kenanganku ama dia." Ujar Fanny dengan suara parau. "Oke lo boleh nglupain semua kenangan yang lo punya, tapi lo pasti bakal ngorek-ngorek sendiri kenangan itu tiap lo kangen. Jadi percuma aja lo uring-uringan bahkan sampai mau ngebakar foto segala. Coba deh lo pikir, lo bikin tuh foto bukan buat dibakar kan?" Tanya cowok itu menaikkan sebelah alisnya. "Kamu bener." Fanny terdiam sambil berusaha menahan air matanya.
          "Gua Chris." Chris mengulurkan tangannya. "Fanny." Kata Fanny menjabat tangan Chris. Fanny memunguti foto-fotonya bersama Rico yang berceceran di atas rumput. "Kenapa lo tau tempat ini? Gua pikir cuma gua yang tau nih tempat." Chris berbaring di atas rumput taman yang hijau itu. "Aku juga nggak tau Chris, tiba-tiba aja aku kepikiran buat lari terus sampai kesini."
"Oh.." Tanpa bicara lagi Chris memejamkan matanya. "Chris, kamu tidur?" Fanny menggoyang-goyangkan tubuh Chris.
"Chris, ini udah hampir jam 7 kamu nggak masuk ke kelasmu?" Tak ada jawaban. "Chris! Ya udah deh kalo gitu aku balik ke kelasku dulu ya daaaaa..." Fanny berdiri dan membersihkan roknya. "Tungguin gua!" Chris menahan lengan Fanny. "Ayo cepetan!" Kata Fanny mulai gusar. "Emang pelajaran jam pertama siapa?" "Guru killer pokoknya." "Bahasa Indonesia?" Kata Chris mengernyitkan dahi. "Haah.. Bahasa Indonesia? Yang bener aja! Bahasa Indonesia tuh gampang banget tau." Fanny mulai berjalan menuju gedung sekolah sambil terkikik. "Kalo bukan Bahasa Indonesia apa? Gua anti ama Bahasa Indonesia." "Matematika laah.. apa lagi?" "Hahaha serius lo? Matematika itu kecil kayak gini nih!" Kata Chris sambil menjentikkan kelingkingnya dan terus tertawa terpingkal-pingkal. "Kamu suka matematika?'' Tanya Fanny dengan raut ketidakyakinan. "Banget!" Chris mengepalkan tangannya bersemangat.
Fanny sampai di depan kelasnya. "Daah... Fanny." Chris melambaikan tangannya dan melempar senyum. "Daah..." Fanny membalas lambaian Chris.
          Tanpa Fanny sadari ada sepasang mata dengan sorot penuh amarah yang menyaksikan kejadian barusan. Sepasang mata coklat Rico.
Secepat itu. Secepat itukah Fanny? Secepat itu kamu melupakanku ?
Rico bergegas menuju kelasnya sambil bergumam tak jelas. Berharap bahwa Ia dapat menghapus bayangan yang dilihatnya barusan. Tetapi segigih apapun usaha Rico untuk melenyapkan bayangan kejadian yang barusan dilihatnya, bayangan itu seperti film yang berputar di kepala. Dengan rentetan kejadian yang sangat rinci.
Rico mengepalkan tangan dan mendaratkan tinjunya pada tembok kelas.
''Rico! Apa-apaan kamu? Tangan kamu berdarah." Kata Cecil panik. ''Nggak papa. Udah kamu jangan ngurusin aku.'' ''Rico, kamu kenapa sih nyelakain diri kamu sendiri?'' Kata Cecil sambil mengeluarkan sapu tangan dari tas selempangnya.
          Rico terdiam, Ia tidak siap membagi ceritanya pada Cecil. Mungkin sampai kapanpun Rico tidak akan pernah siap. Tidak hanya tak siap membaginya pada Cecil, tetapi juga pada siapapun.
Semenjak kepergian Rafa, adiknya. Rico tidak pernah mau membagi masalahnya pada siapapun. Karena baginya, hanya Rafa tempat yang dapat menampung cerita dan memberinya solusi.
Cecil menatap Rico dengan iba. Rico, andai kamu tau kalo aku suka kamu. Tapi kamu nggak akan pernah mau tau soal perasaanku, karena di hatimu cuma tersimpan satu nama. Cuma satu nama, Fanny. Kata Cecil dalam hati.
          Jam istirahat berbunyi nyaring memekakkan telinga. Tampaknya orang yang paling semangat menyambut bel istirahat adalah Fanny Ameline. "Yeah! Akhirnya pelajaran mati-matian ini lenyap hingga ke akar!'' Fanny berjingkrak-jingkrak senang. ''Nggak gitu juga kali, minggu depan kan tuh orang bakal nongol di kelas kita lagi.'' Kata Yuri sambil mengarahkan dagunya ke arah Bu Susan yang barusan keluar dari kelas mereka.
''Whatever baby, yang penting kan lusa jadwal pelajaran mati-matian itu vakum!'' Kata Fanny menjawil dagu Yuri. ''Sesukamu sajalah.'' Kata Yuri masabodo. Syukurlah kalo kamu udah bisa ceria lagi kayak dulu Fan. Seenggak-enggaknya untuk saat ini. Kata Yuri dalam hatinya. Yuri menarik napas lega dan mengacak-acak rambut Fanny yang dibiarkan tergerai dengan jepit berbentuk ceri pemberian Rico itu.
''Yuriiiii...! Rambutku berantakan tau!!!'' Jerit Fanny kesal. Yuri berlari sambil tertawa penuh kemenangan dan Fanny mengejarnya.
''Hosh.. Hosh.. Hosh.. Udahan ah Fan. Kamu pikir kita bocah PAUD pakai kejar-kejaran segala?'' Kata Yuri ngos-ngosan. ''Huu.. lari segitu aja capek Ri. Dasar kamu nggak pernah olahraga!'' Fanny meleletkan lidahnya. ''Biarin. Daripada kamu, lengan, paha, ama kaki pada dempal semuanya!'' Yuri mencibir tak mau kalah. Baru saja Fanny hendak membuka mulut untuk membalas olokan Yuri, datang seorang cowok. ''Fanny.'' Sapanya dengan mata berbinar. Yuri tidak pernah melihat mata cowok berbinar seperti itu. Yuri tertegun untuk sejenak. Matanya tak lepas dari rambut cowok itu yang dibikin acak-acakan menggunakan gel rambut. ''Eh Chris.'' Kata Fanny sambil tersenyum. Lamunan Yuri buyar seketika. ''Lo mau ke mana?'' Tanya Chris. ''Mm.. aku nggak tau Chris. Barusan aku kejar-kejaran sama Yuri, eh taunya berhenti di sini dan ketemu kamu.'' Papar Fanny. ''Oh,ya kenalin nih temen aku, namanya Yuri. Eh nyet, kenalin nih temen baruku yang baru kenal tadi pagi, namanya Chris.'' Kata Fanny sambil menyikut pinggang Yuri. ''Ah..eh..hem.. iya aku Yuri.'' Kata Yuri canggung. ''Gua Chris.'' Kata Chris menjabat tangan Yuri. ''Eh aku laper nih, ke kantin yuk!'' Ajak Fanny. ''Ayo..'' Kata Yuri dan Chris berbarengan. Chris tertawa. Untuk sesaat wajah Yuri bersemu merah.
          ''Fanny, Yuri, kalian pesen apaan? biar gua yang mbawain ke sini. ''Eh nggak perlu repot-repot kali Chris.'' Kata Yuri memotong. ''Ah, nggak papa Ri! Kapan lagi kita dapat pelayanan ekstra kayak gini?'' Fanny mengedipkan sebelah matanya pada Yuri. Yuri memutar matanya, bahunya melorot menyerah. ''Aku pesen mie pangsit ama jus alpukat yah Chris.'' Ujar Fanny bersemangat. ''Oke boss, kalo lo Ri?'' ''Aku bakso ama es campur deh.'' ''5 menit'' Kata Chris sambil bergegas. ''Chris..'' Panggil Yuri. ''Ada apa?'' ''Makasih.'' ''Sama-sama.'' Kata Chris dengan senyum mengembang. Deg! Mati aku. Tuh cowok beda banget ama cowok-cowok lainnya. Pikir Yuri.
          ''Hayo.. kamu ada 'itu' ya ama Chris?'' Fanny mendekatkan wajahnya ke wajah Yuri. ''Hah?? 'itu' apaan? Sialan kamu Fan!'' Yuri memukul kepala Fanny dengan sendok. ''Gila, sakit tau..!'' Fanny manyun. ''Habis kamu sih, Fan! Kalo ngomong yang bener dikit napa?'' ''Aku kan ngeliat tatapan kamu ke dia oon! plus aku nilai tatapan kamu itu secara objektif.'' Tandas Fanny. ''Emang aku natapnya kayak gimana? Udah deh Fan, kamu lupa waktu aku bilang, aku nggak bakal bisa suka ama cowok lagi?''
''All right, aku lupa! dan kalo kamu ada rasa sama Chris, why not? aku bisa jadi mak comblang terhebat sepanjang tahun ini!'' ''Fanny, kamu..'' ''Hey ladies. Nggak lebih dari 5 menit kan?'' Chris menaikkan sebelah alisnya. Membuat gayanya terlihat semakin cool. ''Ehm, iya..'' Kata Yuri tanpa menatap Chris. ''Kok bisa secepat itu Chris? Aku sama Yuri aja kalo pesen makanan bisa sampai 15 menit nunggunya.'' ''Siapa dulu yang mesenin?'' Chris menepuk-nepuk dadanya. ''Hahaha..'' Fanny tertawa ringan dan mulai menyumpit mie pangsitnya.
''Yuri lo nggak makan bakso lo?'' Chris melirik bakso Yuri yang asapnya masih mengepul hangat itu. ''Oh,iya.'' Yuri tersentak kaget dari lamunannya. ''Ngelamun itu nggak baik lho. Emang lo lagi mikirin apa sih?'' Tanya Chris. ''Nggak kok.'' Suara Yuri agak bergetar. Tuhan, inikah cinta? tapi tidak boleh! aku tidak boleh menyukai Chris, belum tentu juga dia menyukaiku. Aku tidak siap merasakan sakit untuk yang kedua kalinya. Pikir Yuri. Akhirnya Yuri melahap baksonya.
          Jam pelajaran telah usai. Fanny segera menggandeng tangan Yuri. Mereka melewati koridor. ''Fanny.'' Panggil seseorang yang berdiri di ujung koridor itu. Fanny menoleh ke arah cowok itu. Zlaaapz! Rico. Batin Fanny kacau. Fanny menatap Yuri. ''Fan, aku pulang duluan ya.'' Kata Yuri sudah bisa menebak pikiran Rico. ''Ri.. Ri.. Yuri..!'' Fanny memanggil Yuri berkali-kali namun Yuri sudah menghilang dari pandangan.
Fanny membalikkan badannya yang memunggungi Rico. ''Fanny, aku mau ngomong sama kamu.'' Kata Rico dengan raut wajahnya yang tampak serius. Dahinya berkerut. Rico seperti sedang memikul masalah yang amat membebaninya. ''Ya ngomong aja.'' Kata Fanny sambil menunduk dalam membuat duapertiga wajahnya tertutup poni. ''Maafin aku selama ini ya Fan.'' Rico menatap mata Fanny dalam-dalam. ''Maaf buat apa?'' Fanny agak mendongak untuk menatap mata Rico. ''Semuanya. Semua yang aku lakuin ke kamu. Semua kesalahanku.'' Sepasang mata Rico tetap menatap mata Fanny. ''Kamu nggak salah. Nggak ada yang perlu di maafin. Kenapa kamu bilang kayak gini ke aku? Bukannya kamu udah pernah minta maaf?'' Tanya Fanny. ''Aku emang udah pernah minta maaf Fan, tapi kukira sesering apapun aku minta maaf ke kamu, itu belum cukup. Nggak akan cukup ngehapus rasa bersalahku ke kamu. Mulai dari aku ndeketin kamu, bikin kamu suka sama aku, ninggalin kamu tanpa alasan yang jelas..'' ''Rico..!'' Potong Fanny. ''Aku nggak pernah nyesel kenal kamu, suka sama kamu, ngehabisin waktuku sama kamu, aku nggak pernah nyesel. Bahkan kalo kamu nggak suka sama aku kayak aku suka kamu pun, aku nggak peduli. Aku cuma suka, sayang ama kamu. Kalo kamu ninggalin aku karena kamu suka seseorang, aku nggak papa asal kamu bahagia.'' Kedua lengan Rico seketika merengkuh tubuh Fanny. Diam. Mereka berpelukan dalam diam.
Fanny pun terkadang berpikir, cukup dengan diam untuk mengutarakan perasaannya pada Rico. Air mata Fanny merembes ke seragam Rico. Dalam diam. Berpelukan.
         
              Pikiran mereka berkecamuk sendiri-sendiri. ''Rico, sebenernya apa maksud semua ini?'' Tanya Fanny memecah keheningan. Membiarkan pertanyaan satu itu meluncur dari mulutnya. ''Aku.. a.. ak.. aku..'' Rico semakin mempererat pelukannya seolah tak ingin melepaskan Fanny. ''Rico..'' Fanny masih memburu jawaban dari Rico. Tiba-tiba Rico melepaskan pelukannya perlahan. Memegang pundak Fanny. Menatap Fanny dengan mata yang sama basahnya dengan mata Fanny. ''Aku nggak pernah ingin saat ini terjadi. Aku harus.. harus..'' ''Harus apa Co?'' Fanny mengguncangkan pundak Rico. ''Aku harus ngerelain kamu.'' Rico menunduk menatap lantai. ''Maksud kamu?'' Kata Fanny belum bisa memahami ucapan Rico. ''Fan, aku harus ngerelain kamu. Aku bakal pindah ke Bandung. Ayahku dipindahin kerja di sana.'' Rico terduduk di lantai. Begitupun Fanny. ''Itu artinya, kamu nggak bakal ketemu aku lagi? Jarak kita bakal berjauhan?'' Air mata semakin deras mengaliri pipi Fanny. Tangan Rico menghapus air mata itu.
''Fanny, sekarang kamu udah tau kenapa aku mutusin kamu, karena aku nggak mau semakin lama kita pacaran, semakin erat kedekatan kita. Semakin berat juga nantinya kita ngelepasin satu sama lain. Sekarang kamu boleh benci sama aku, sayang. Aku juga benci. Benci sama saat-saat ini.'' Kata Rico membelai rambut Fanny. Hanya terdengar isakan Fanny, Fanny tak ingin menanggapi kata-kata Rico barusan. Fanny terpukul.
''Aku nggak punya apa-apa Fan, aku cuma punya ini. Dan ini buat kamu.'' Rico mengeluarkan sebuah kalung perak berbandul huruf inisial 'RF'. Fanny menerimanya. Ia mengenggam erat kalung itu kemudian menimang-nimangnya. ''Aku nggak minta apapun dari kamu Rico dan...'' ''Aku tahu. Kamu bukan cewek yang gampang nerima pemberian orang meskipun itu keluarga kamu. Apalagi dari sahabat atau pacar. Tapi, aku minta tolong Fan, please kali iniii... aja terima nih kalung. Kalo kamu nggak mau pake, simpen aja sebagai kenang-kenangan.
          Aku nggak tahu apakah nanti di Bandung aku bakal suka sama orang lain atau tetep suka kamu. Yang pasti, aku nggak bakal bisa lupain kamu. Aku janji nggak bakal lupain kamu.'' Rico mengulurkan jari kelingkingnya. Fanny menyambutnya dengan mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Rico. ''Janji ya?'' Kata Fanny. Rico mengangguk sambil menyuguhkan senyumnya. ''Makasih buat waktu kamu yang udah kamu luangin buat aku Fan.'' Rico mengecup pipi Fanny. Fanny menyandarkan kepalanya di pundak Rico. ''Makasih juga udah sempet dateng di hidupku dan nyayangin aku.'' Ujar Fanny.
Angin berhembus membelai tubuh mereka. Mereka larut dalam perasaan mereka masing-masing. Perasaan terdalam, yang sulit melepaskan satu sama lain, yang sulit untuk mengubur dalam kenangan mereka berdua selama ini.
          Setelah kepergian Rico, Fanny tetap ceria seperti biasa. Yuri selalu mengatakan, 'kalo dia jodoh kamu Fan, dia bakal balik kok. Nggak peduli sejauh apapun jarak kamu sama dia sekarang.'
Fanny memang masih menyukai Rico. Namun Ia tak mau terpuruk dan menyesali masa lalunya. Ia tak pernah menyesal mengenal Rico. Ia selalu bersyukur dengan apa yang telah terjadi karena Ia yakin, Tuhan menghadirkan lembar demi lembar kejadian di hidupnya bukan tanpa tujuan, justru ada rencana-Nya di balik semua ini.
          ''Ri, salah nggak kalo aku masih sayang sama Rico?'' Kata Fanny memandang sahabatnya itu. ''Nggak kok Fan. Aku juga masih sayang banget sama Alvin.'' ''Oh ya? kukira kamu udah ngelupain Alvin, dan suka Chris, nyet! Ri, Alvin itu udah di sana. Di alam yang beda ama kita. Kalaupun kamu sayang banget sama dia, kamu boleh tetep sayang dia tapi kamu nggak boleh nutup hati kamu buat orang lain. Mungkin di sini kamu nggak bisa bersatu sama Alvin. Tapi suatu saat nanti.. siapa yang tahu kalo mungkin aja Alvin bakal sama-sama ama kamu lagi.'' Fanny melempar senyumnya. ''Tapi kalo Chris nggak suka sama aku gimana?'' Tanya Yuri dengan tatapan khawatir. ''Semua itu butuh proses Ri. Dari dulu aku udah nawarin jadi mak comblang kamu kan?'' Kata Fanny nyengir. ''Hehehe.. tapi aku pengen semuanya alami Fan. Lagian kayaknya Chris suka deh sama kamu.'' ''Kalo Chris emang bener suka aku, terus aku nggak ada rasa sama Chris gimana?'' Fanny meleletkan lidahnya. ''Kan semua butuh proses.'' Ujar Yuri. ''Yee... dasar kamu kerjanya copast mulu! Minjem kata-kataku bayar lho ya! Rp. 1.000,-/karakter Ri! Hahaha...'' Canda Fanny. ''Hahaha.. '' Yuri mencubit lengan Fanny. ''Idiiiih sakiiiittt!''
          Hujan di minggu sore membuat rencana Yuri dan Fanny hangout 'gatot' alias gagal total. Fanny terpaksa bengong seharian di rumah sambil melihat bulir demi bulir air hujan turun dari langit. Ia ingat Rico. Fanny masih berkirim e-mail dengan Rico hingga sekarang. Meskipun agak jarang, Fanny tetap senang karena hal itu bisa mengobati rasa rindunya pada Rico. ''Triiing.. Triiing.. Triiing..'' Bel rumah Fanny berbunyi nyaring. Fanny segera turun ke lantai dasar dan mengintip dari celah tirai di balik jendela. Itu Chris.
''Hai Chris! Ayo masuk.'' Fanny mempersilahkan. ''Thanks.'' ''Kamu tahu rumahku dari siapa? Oh ya bentar ya Chris, aku buatin minum dulu.''
          3 menit kemudian Fanny datang membawa nampan berisi dua mug ukuran sedang coklat panas. ''Di minum Chris.'' Kata Fanny meletakkan mug untuk Chris. ''Yoi makasih. Lo di rumah sendirian Fan?'' ''Iya keluargaku pada ke rumah nenekku.'' Kata Fanny sambil meniup coklat panasnya. ''Kok lo nggak ikutan?'' ''Kan aku udah besar! Masa ikut.'' ''Hehehe kali aja. Sebenernya gua ke sini mau main sekalian ngomong sesuatu sama lo.'' ''Oh ya? Ngomong aja.'' ''Gua suka sama lo.'' Kata Chris to the poin.'' ''Hah?'' Fanny tersentak kaget. Ia segera meneguk coklat panas yang ada di dalam mug nya hingga habis. ''Huaaaahhh... panas!'' Kata Fanny sambil lari terbirit-birit menuju dapur. Fanny segera meminum segelas air putih yang ada di atas meja makannya.

          ''Gila tuh cowok! Ujan-ujan ke sini cuma mau bilang gituan.'' Fanny bingung terhadap Chris. Kenapa Chris bisa menyukainya? Padahal selama ini Fanny menganggap Chris sebagai sahabat. Sama seperti Alvin.
Fanny memutuskan kembali ke ruang tamu. Dan Ia menangkap tatapan khawatir dari mata Chris. ''Fan, lo nggak papa?'' ''Nggak papa kok.'' Fanny memaksakan senyum tipisnya. ''Gua nggak ada maksud buat ngerebut tempat Rico di hati lo. Gua cuma ngungkapin perasaan gua aja. Gua pengen bisa ada di samping lo dan jadiin lo sebagai orang penting di hidup gua. Boleh gua minta kesempatan itu?'' Tanya Chris menatap sepasang mata bundar Fanny tanpa berkedip. ''Chris, rasa suka itu nggak bisa di paksain. Meskipun rasa suka emang bisa dateng seiring kebiasaan, tapi aku nggak mau itu. Aku nggak mau nyakitin kamu Chris. Yang aku suka sampai detik ini masih Rico. Terserah kamu aku bodoh atau apa. Aku bukannya nutup hati aku buat cowok selain Rico, cuma aku masih ada rasa sama Rico. Dan aku nggak mau kalo aku sama kamu nanti, kamu kecewa sama aku karena yang ada di hatiku masih tetap sama. Masih tetap Rico, bukan kamu.'' Ujar Fanny dengan suara parau. Kali ini Fanny tampak tegar. Air mata tak keluar dari sudut manapun di kedua bola matanya.
           ''Jadi lo nggak bisa ngasih gua kesempatan?'' ''Maafin aku, Chris aku udah anggep kamu sahabat cowokku dari awal. Dan aku nggak bisa ngubah rasa itu. Itu di luar kuasaku, maaf.'' ''Oke kalo emang lo belum bisa nglupain Rico. Gua bakal nuggu lo dan berusaha rebut hati lo sampai rasa lo ke Rico habis.'' Kata Chris menggenggam tangan Fanny. Fanny melepaskan genggaman tangan Chris perlahan.
''Chris, nunggu itu nggak baik. Kalo ada seseorang yang nunggu lo, sementara lo nunggu orang lain, itu nggak impas.'' ''Emang ada yang nunggu gua?'' Chris mengerutkan dahi tak yakin. ''Kalo kamu jeli, pasti kamu tahu sapa orang yang nunggu kamu selama ini.'' ''Yu.. Yuri..?'' Chris menebak dengan agak terbata mengucapkan nama Yuri.'' ''Anak pintar!'' Fanny tersenyum. ''Kenapa Yuri bisa suka gua?'' ''Kayaknya yang bisa ngasih jawaban dari pertanyaan kamu itu orang yang bersangkutan deh. Hahaha..'' Kata Fanny tertawa lalu melanjutkan pembicaraannya.
          ''Rasa suka itu dateng nggak bilang-bilang Chris. Dan kalo kamu normal, kamu pasti mikir sama kayak yang aku pikirin waktu ada orang yang suka sama kamu. Aku juga bingung, kenapa kamu bisa suka ama aku. Sama kan kayak kamu waktu tahu kalo Yuri suka kamu?'' ''Hahaha.. Iya sih, normal gimana maksudnya Fan?'' ''Kalo kamu nggak bingung waktu ada orang yang suka sama kamu, itu artinya kamu ke-PD an.'' Kata Fanny masih terkikik. ''Bisa aja lo!'' Chris menepuk pelan kepala Fanny.
''Ya udah, gua balik dulu ya Fan, nggak enak ntar kalo ada orang lihat kita berduaan di rumah. Ntar disangka kita ngapa-ngapain lagi.'' Kata Chris nyengir. ''Kita kan emang ngapa-ngapain Chris. Kita nggak diem aja kan dari tadi? Kita minum coklat panas, ngobrol, bercanda!'' ''Dasar kunyuk!'' Kata Chris sambil mengacak-acak rambut Fanny.
             Dalam hati Chris masih belum bisa mengganti nama Fanny menjadi Yuri. Ia tetap menyukai Fanny. Tapi Chris berjanji akan berusaha menyukai orang yang menyukainya tanpa paksaan apapun, dan dari siapapun.
Chris selalu memiliki pikiran bahwa 'kita tak boleh menyia-nyiakan orang yang menyayangi kita. Karena suatu saat ketika kita mengecewakannya, orang itu akan pergi dan membuat kita merasa kehilangan.' Itu adalah kata-kata yang selalu Chris ingat. Itulah kata-kata yang pernah diucapkan mamanya. Walaupun mama Chris sudah tiada, Chris tetap mengingat apapun yang dikatakan mamanya dan berusaha mengamalkan kata-kata itu.
''Ma, Chris rindu mama.. Semoga mama tenang di sana ngeliat Chris kayak gini.''

             Hujan masih turun. Fanny kembali ke kamarnya dan melanjutkan aktivitasnya - memandang hujan. Tiba-tiba Fanny teringat sesuatu. Ia segera membuka laci bawah lemarinya. Dan.. Ini, Fanny tertegun dan mengambil benda-benda itu. Fanny meletakkannya di atas kasur dan menghabiskan waktu cukup lama untuk memandangnya. Air mata Fanny hampir tumpah, namun Fanny segera menyekanya. ''Jaket, buku Rico, dan Foto-foto ini.'' Desah Fanny. ''Aku lupa ngembaliin ke Rico.'' Fanny tertawa. Kemudian Ia mengirim e-mail pada Rico.

To : adityarico@yahoo.com


       Hai Rico,
apa kabar? Masih inget sama jaketmu yang selalu aku bawa waktu dulu? Atau masih inget sama buku novel kesayanganmu yang aku pinjem?
Aku lupa ngembaliin, sampai sekarang masih baik-baik di aku kok.
Hehehe :D
Boleh buat aku semuanya?
Aku lagi males maketin tuh barang ke Bandung buat dibalikin lagi ke kamu.

Salam rindu,
Fanny

Fanny mengirimnya.
Seminggu kemudian, datanglah balasan e-mail dari Rico yang sudah di tunggu-tunggu Fanny.


To : amelinefanny@yahoo.com


       Hai juga Fanny :)
eh sorry ya, e-mailmu baru kubalas, aku sekarang jadi super sibuk. Ya ngurusin basket lah, ya hunting buku ama temen-temen lah, kegiatan di sekolah juga makin padaaat merayaaap. Hehe :D
cewek di Bandung juga geulis-geulis lho. Ntar cepat atau lambat, aku bakal lupain kamu. Pweeee :p
kabarku di sini alhamdulillah baik kok. Kamu gimana?
Yee bilang aja nggak mau ngembaliin. Haha..
Simpen buat kamu :)

Always miss u,
Rico

Fanny tersenyum. ''Makasih ya Co.'' Kata Fanny sambil menutup laptopnya.



                                                                               ~Selesai~
huff .. akhirnya :D

1 komentar:

let's comment what do you want or ask me if you have any question
eits . . . don't forget give me a suggest :)